Syahdan, Gubernur Amr bin al-Ash ra berniat membangun masjid megah untuk kepentingan kaum muslimin, akan tetapi ditengah berjalannya pembangunan masjid tersebut, dijumpai sedikit hambatan. Ada sebuah gubuk reyot milik seorang kakek yahudi yang terletak dilokasi pembangunan. Sebanarnya pihak pelaksana proyek sudah menawarkan kepada sang kakak untuk membeli gubuk itu dengan harga tinggi, tetapi ia enggan menerimanya. Akhirnya dengan dalih kepentingan umum, gubuk reyot itu pun terpaksa digusur oleh pemerintah.
Dengan rasa kesal dan marah, si kakek yahudi menemui Khalifah Umar bin Khattab ra. Ia menyampaikan keluh kesah atas penggusuran rumahnya.
“Wahai bapak tua, aku memahami perasaanmu.” Tak berapa lama kemudian, Umar ra mengambil sepotong tulang binatang dan digores dengan pedangnya, dan menyuruh untuk diberikan kepada gubernur Amr bin al-Ash ra.
Begitu menerima tulang bergores pedang tersebut, wajah sang gubernur langsung memucat dan tangannya gemetar. Ia menangis terisak dan air matanya mengalir bercucuran.
“Wahai tuan Gubernur, kenapa engkau menangis seperti ini? Padahal yang selama ini aku tahu, engkau demikian berwibawa dan tegar.” Tanya kakek yahudi itu
“Ketahuilah wahai kakek. Melalui tulang ini, seakan Khalifah Umar ra mengingatkan bahwa manusia dating ke dunia tidak membawa apa-apa, kemudian mereka akan menjadi tulang-belulang seperti ini. Tak ada bekal yang dapat dibawa ke hadapan ALLAH kecuali amal yang lurus sebagaimana lurusnya goresan pedang diatas tulang ini. Karena itu, aku sebagai Gubernur berkewajiban menegakkan keadilan. Kalau aku mengingkarinya, maka Khalifah akan meluruskanku dengan pedangnya. Sungguh celaka diriku. Bagaimana nanti aku akan mempertanggungjawabkan kebengkokan tindakanku di hadapan ALLAH ketika aku sudah menjadi tulang-belulang seperti ini? Untung saja Amirul Mukminin mengingatkanku, sehingga aku tidak melenceng jauh”
Terkesiaplah kakek yahudi mendengar penuturan Gubernur Amr bin al-Ash ra. Ia baru menyadari, betapa agama islam telah membumikan keadilan dalam kehidupan ini. Seumur hidup, belum pernah ia menjumpai keadilan ditegakkan sekokoh itu.
“Wahai tuan Gubernur, sebenarnya tuan sudah berlaku adil. Justru sayalah yang tidak adilo. Saya tidak tahu diri. Sebab tuan membangun masjid untuk kepentingan umat, sementara aku hanya memperturutkan egoku. Sekarang aku merelakan rumahku digusur. Mulai saat ini, aku bersaksi dihadapanmu bahwa aku masuk islam”
Kakek yahudi itu mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Amr bin al-Ash ra. Sungguh berbunga hati gubernur melihat akhir cerita yang menggembirakan ini. Keduanya pun berpelukan dengan sangat akrab.
Bagikan tausiyah ini kepada teman-temanmu dengan meng-klik ‘tombol share di bawah’